Kisah Reflektif Kompol Jemy Oktovianus Noke: Melangkah Tertatih, Mengabdi Penuh Arti

Kisah Reflektif Kompol Jemy Oktovianus Noke: Melangkah Tertatih, Mengabdi Penuh Arti
Wakapolres TTU, Kompol Jemy Oktovianus Noke didampingi Kabag SDM AKP Mahdi Ibrahim dalam perjalanan menghadiri kegiatan Penanaman Jagung Serentak Kuartal III di Desa Hauteas Barat, Kabupaten TTU Nusa Tenggara Timur (Rabu, 9/7/2025) Dok. Humas

Oleh: IPDA Wilco Mitang (Sihumas Polres TTU)

Di tengah rutinitas seremonial yang kerap hadir tanpa makna mendalam, seorang perwira menengah Polri memberikan pelajaran sunyi tentang Loyalitas, Keteladanan, dan Pengabdian---Tidak dengan berorasi, tidak menuntut perhatian---hanya hadir dengan langkah tertatih, menopang tubuh dengan dua tongkat, namun tersenyum lebar seolah tubuhnya tak menanggung rasa nyeri.

Kompol Jemy Oktovianus Noke, Wakapolres Timor Tengah Utara (TTU), menjadi perhatian dalam kegiatan Penanaman Jagung Serentak Kuartal III di Desa Hauteas Barat, Kabupaten TTU Nusa Tenggara Timur (NTT). Retakan pada tulang kakinya tak menghalangi langkahnya untuk berdiri bersama masyarakat dan para personel. 

Ketika ditanya soal kondisinya, Kompol Jemy menjawab: 
“Bukan apa-apa, ini hanya cedera biasa.”

Kalimat pendek itu, ditengah banyaknya pencitraan dan teatrikal moral dalam ruang publik, justru menjadi bentuk kejujuran yang langka--Dibalik tubuh yang tampak ringkih, ada pesan utuh tentang kesetiaan pada tugas, keberanian dalam menghadapi keterbatasan, dan bentuk pengabdian yang tulus. 

Kebajikan merupakan kualitas moral yang tertanam dalam tindakan, bukan ucapan---Keberanian bukanlah tiupan kata-kata di podium, tetapi keteguhan untuk tetap berjalan saat alasan untuk mundur tersedia. 
Dalam tindakan Kompol Jemy, terlihat "keberanian sebagai bentuk paling sunyi dari integritas."

Tidak ada narasi heroik yang dibangun, namun justru dalam kesederhanaan itulah muncul kekuatan narasi baru: bahwa loyalitas tidak harus lantang, dan pengabdian tidak selalu butuh tepuk tangan.

Dalam dunia manajerial modern, kepemimpinan sering dibingkai dengan kata-kata besar: transformasional, karismatik, strategis; Namun masyarakat kita, terutama di wilayah terluar seperti Nusa Tenggara Timur, lebih membutuhkan sosok yang hadir secara nyata—bukan hanya melalui kebijakan, tetapi lewat "kehadiran yang utuh, yang menyapa dan menginspirasi."

Kompol Jemy, dalam perannya sebagai Wakapolres, dikenal sebagai pribadi yang tegas namun akrab, disiplin namun penuh empati---bukan sekadar pemimpin struktural, tetapi juga pemimpin relasional. Seperti dikatakan filsuf Martin Buber, "hubungan manusia yang otentik tidak dibangun atas dasar kekuasaan, tetapi atas dasar pengakuan tulus terhadap sesama."

Ketulusan, loyalitas, dan pengabdian bukanlah ungkapan kosong di tubuh Polri. Kapolda Nusa Tenggara Timur, Irjen Pol. Rudi Darmoko, telah menekankan tiga pilar nilai ini sebagai arah kebijakan moral bagi seluruh personel: berbuat baik untuk diri sendiri (tulus), untuk institusi (loyal), dan untuk negara (mengabdi).

Kompol Jemy menjelmakan nilai-nilai itu ke dalam tindakan sederhana namun bermakna. Dan seperti ditegaskan Kapolres TTU, AKBP Eliana Papote, pedoman yang harus dipegang anggota Polres TTU adalah “bekerja baik, dengan hati, dan bijak.” Dalam konteks itu, kehadiran Kompol Jemy bukan hanya representasi tanggung jawab struktural, tetapi cerminan nilai dan arah moral kepolisian masa kini.

Di era dimana institusi Polri mudah dicurigai, dan integritas sering kali menjadi isu utama, kisah seperti ini membawa harapan tentang masih adanya figur-figur yang bekerja dalam diam, yang menjunjung etika tanpa harus menjadi panggung, dan yang tetap meletakkan hati dalam setiap tugas negara.

Kompol Jemy tidak sedang mencari pujian. Namun justru karena itu, tindakannya layak dikenang sebagai refleksi: bahwa pengabdian sejati tak memerlukan panggung besar—cukup satu langkah kecil meskipun tertatih namun menapaki jalan pengabdian penuh arti.**wm**