Irjen Pol Dr. Rudi Darmoko di Pelataran Sonaf Bikomi: Polisi Sebagai Mitra Budaya

Irjen Pol Dr. Rudi Darmoko di Pelataran Sonaf Bikomi: Polisi Sebagai Mitra Budaya
Kapolda NTT Irjen Pol. Dr. Rudi Darmoko, S.I.K., M.Si., saat penanaman phon Cendana di pelataran Sonaf Bikomi Plenat Leob (18/7/25) Dok. Humas

tribratanewsdttu.com; Kefamenanu, 18 Juli 2025 — Di pelataran Sonaf Bikomi Plenat Leob, istana suku besar di Timor Tengah Utara (TTU), langkah kaki Irjen Pol. Dr. Rudi Darmoko, datang bukan hanya sebagai Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT), melainkan sebagai seorang tamu yang dirangkul oleh budaya, diterima dalam ikatan leluhur, dan dimahkotai sebagai bagian dari komunitas adat.

Ini adalah kisah tentang bagaimana institusi Polri melalui Irjen Pol. Dr. Rudi Darmoko mencari akar dalam nilai-nilai tradisi, dan tentang bagaimana masyarakat adat memelihara ingatan kolektif tentang negara melalui simbol dan rasa hormat.

Disambut dengan Takanabritual penerimaan khas Timor—dan diiringi tiupan Puf, terompet tanduk kerbau---Kapolda diposisikan bukan sekadar sebagai tamu, melainkan sebagai bagian dari tatanan budaya masyarakat Bikomi. 

Di pelataran Lopo, rumah adat yang menjadi pusat musyawarah dan perlindungan nilai budaya, Irjen Pol. Rudi Darmoko menerima Pilu (Mahkota dari Kain), Selendang Tenun, dan Kain Bete, tiga atribut yang bukan hanya bersifat simbolik, tetapi menyatakan penerimaan batin yang sarat makna oleh komunitas adat.

Ini adalah bentuk kepercayaan yang tak bisa dibeli dengan jabatan, pangkat, atau kekuasaan—hanya bisa diperoleh melalui penghargaan dan pendekatan yang tulus.

Dalam pernyataan Usi Margorius Bana, tersirat makna mendalam tentang cara masyarakat adat memaknai relasi dengan negara. 

“Kapolda sekarang bukan hanya sebagai pimpinan Polri, tetapi juga bagian dari keluarga besar Sonaf,” ujar Usi Margo saat diwawacarai tim tribratanewsttu.

Ama Sife, salah satu Tua Adat yang dihormati di Sonaf Plenat Leob, menyampaikan rasa haru dan simpati atas kunjungan Kapolda dan Ketua Bhayangkari Daerah NTT, Ny. Vily Rudi Darmoko.

Dengan bahasa Dawan (bahasa adat Timor), Ama Sife mengatakan:

"Bp Jendral ije atoin alekot, merendah. In kaot e msat nekne naleok, hokai dan nekai ok oke padahal hai ije atoin meto." yang berarti:
(Bapak Jendral ini orang baik, rendah hati. Istrinya juga sangat baik hatinya, memeluk dan mencium kami, padahal kami ini hanya orang kampung).

Ungkapan tersebut mencerminkan betapa hangat sosok Kapolda NTT beserta istri di mata masyarakat adat, yang tidak melihat jabatan sebagai sekat, tetapi sebagai jalan untuk merajut rasa saling menghargai dan memperkuat tali persaudaraan.

Ini adalah pelajaran penting bagi institusi mana pun: keberlanjutan relasi tidak dibangun oleh proyek atau program jangka pendek, tetapi oleh kesetiaan pada nilai, oleh kehadiran yang konsisten, dan oleh kerendahan hati dalam memahami kearifan lokal.

Penanaman pohon Cendana oleh Irjen Pol. Rudi Darmoko menjadi simbol yang dalam maknanya. Di tanah Timor, Cendana bukan sekadar pohon. Ia adalah warisan, pengingat waktu, dan lambang ketulusan yang tumbuh perlahan namun berharga.

Ketika Kapolda berpesan singkat, “Tolong rawat pohon ini,” beliau seolah menitipkan masa depan ke dalam akar yang akan tumbuh di tanah para leluhur Biinmaffo.

Di sini, negara dan rakyat tak lagi berhadapan secara formalistik, tetapi menyatu dalam bahasa simbol dan kesepakatan moral. 

Inilah bentuk hubungan yang lebih kuat dari sekadar surat perjanjian—ini adalah ikatan jiwa sosial yang hanya bisa lahir dari pertemuan hati dan kebersamaan.

Kunjungan ini menjadi cermin dari pergeseran paradigma kepolisian. Bahwa tugas utama Polri bukan hanya menjaga hukum secara represif, tetapi merawat jalinan kepercayaan dengan masyarakat, khususnya melalui pendekatan budaya yang mengedepankan dialog, pengakuan, dan kehadiran manusiawi.

Kapolda Irjen Pol. Rudi Darmoko telah menunjukkan bahwa Polri adalah “Mitra Budaya”, bukan dengan menguasai, tapi dengan menghormati, bukan dengan membatasi, tapi dengan mendekatkan diri, bukan dengan instruksi, tapi dengan penghayatan akan nilai-nilai kultural.

Momen di pelataran Sonaf Bikomi Plenat Leob ini menjadi napas segar: bahwa negara bisa hadir secara lembut, dan bahwa aparat Polri bisa diterima bukan karena wewenang, tetapi karena empati dan penghormatan terhadap warisan budaya yang terpelihara ditengah masyarakat.**wm**